yoyotsupiana, nim. 09540044 (2016) motivasi dan kesadaran kolektif jamaah maiyah cak nun di tamantirto kasihan bantul yogyakarta. skripsi thesis, uin sunan kalijaga yogyakarta. yanuar sofyan hidayat, nim. 10540056 (2017) iklan dan pembentukan mitos muslimah (analisis semiotika roland barthes terhadap iklan jilbab zoya).
Sebuahfestival di mana Cak Nun dan Kiai Kanjeng dijadwalkan akan tampil dibatalkan tetapi Cak Nun dan Kiai Kanjeng justru diminta Walikota Roma untuk tampil dalam kesempatan pemakaman Paus Johanes Paulus II. Mereka secara khusus menciptakan puisi dan komposisi musik dalam rangka penghormatan terhadap Paus berjudul "O Papa."
Wonogiri- Budayawan Nasional Emha Ainun Najib alias Cak Nun, Jum'at malam (04/05) di Alun-alun Giri Krida Bhakti Wonogiri, dalam acara "Sinau Bareng Cak Nun" menyampaikan bahwa di Indonesia yang mayoritas agama muslim.Kita mengkritik antar umat beragama boleh, tapi kita tidak mempunyai hak untuk memaksa agama orang lain karena agama adalah hak asasi manusia.
Vay Nhanh Fast Money. Sleman, NU OnlineMaraknya kelompok-kelompok minoritas yang dengan murah mengobral istilah-istilah seperti bid’ah, haram, dan bahkan mengkafirkan orang-orang di luar kelompoknya, membuat Emha Ainun Nadjib yang kerap disapa Cak Nun angkat acara bertajuk “Ngaji Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng” di lapangan Baratan Candibinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Jumat 04/10, Cak Nun menjelaskan beberapa tradisi keagamaan yang biasa dilakukan waraga NU dan kerap dianggap bid’ah oleh beberapa kelompok, seperti Tahlilan, Yasinan, Kenduri, dan Sholawatan. Cak Nun mengawali dengan menjelaskan tentang Tahlilan. Secara bahasa, Tahlil memiliki makna menyatakan Allah sebagai Tuhan dengan ucapan Laa ilaaha illallah. Sedangkan Tahlilan, di dalamnya mengandung unsur budaya, yakni kegiatan yang sering diadakan untuk mendoakan secara bersama-sama orang yang telah meninggal. Kalimat Laa ilaaha illah itu sendiri ada lanjutannya, yaitu Muhammadun Rasulullah. Artinya bahwa di dalam tradisi Tahlilan, tidak hanya mengakui Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai Rasul-Nya, melainkan juga mengakui bahwa semua adalah ciptaan dan rahmat Allah SWT. “Yang tidak boleh itu jika Tahlilan di dalam sholat. Batasannya yang penting Tahlilan bukan dianggap sesuatu yang wajib, itu yang tidak boleh. Tahlil itu wajib, kalau Tahlilan itu yang tidak wajib,” tandas Cak tradisi Yasinan, Cak Nun menganalogikannya dengan berkata, “Lawong membaca koran saja boleh kok, apalagi membaca Yasin yang merupakan salah satu surah di dalam Al-Qur’an,” ujar Cak Nun yang segera disambut gelak tawa para Kenduri merupakan wujud syukur seseorang dengan cara memberikan sedekah berupa makanan kepada tetangganya, asalkan tidak memberatkan dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang wajib, apalagi jika sampai hutang tetangga untuk melaksanakannya. “Jadi yang mau ngadakan Kenduri ya monggo, yang tidak juga monggo,” ucap Cak Cak Nun menjelaskan tentang tradisi Sholawatan dan puji-pujian yang banyak dilakukan di Masjid-masjid. Dalam Al-Qur’an Allah telah berfirman “Innallaha wa malaikatahu yusholluna alan nabi, ya ayyuhalladzina amanu shollu alihi wa sallimu tasliman”.Jadi, lanjutnya, Allah dan malaikatNya saja sudah nyata-nyata bersholawat kepada Nabi Muhammad, maka manusia yang hanya seorang hamba tentu juga tidak ada masalah jika bersholawat kepada Nabi.“Tidak apa-apa melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi, asalkan tidak melanggar syari’at. Bid’ah itu kan ketika ibadah mahdhah yang berjumlah lima yakni Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa dan Haji itu ditambah-tambah atau diubah, di luar lima itu silahkan, tidak apa-apa. Ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang ibadah mahdhah hanya 3%, sisanya 97% itu tentang ibadah mu’amalah,” papar Cak Nun panjang Cak Nun menekankan bahwa boleh tidaknya sesuatu itu terletak pada niatnya. Barang baik, lanjutnya, jika tidak diletakkan pada tempat yang tidak sesuai maka akan dapat menjadi tidak itu, Cak Nun juga mengimbau masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh kelompok-kelompok tertentu. Menurut Cak Nun, sekarang ini sedang ada tiga negara besar dengan sokongan dana melimpah yang sedang ingin menghancurkan Indonesia. Mereka mengirimkan agen-agen untuk melakukan infiltrasai ke tengah warga Islam di Indonesia. Menurut dia, tujuan mereka sangat jelas, yaitu ingin memecah persatuan umat Islam di Indonesia untuk kepentingan Cak Nun menyampaikan bahwa tidak ada seorang pun yang berhak mengkafirkan orang lain, “Tidak ada yang berhak mengkafirkan seseorang kecuali Allah, karena yang tau orang itu kafir atau tidak hanya Allah,” pungkasnya di hadapan ribuan hadirin dari warga desa dan elemen Muspida Sleman malam itu. Dwi Khoirotun Nisa’/Mahbib
- Sebuah video yang memperlihatkan ceramah Emha Ainun Nadjib atau akrab disapa Cak Nun menyebutkan, bahwa orang Jawa adalah makhluk spesial ciptaan Allah SWT. Video ceramah Cak Nun tersebut awalnya ditayangkan kanal Youtube First Name. Disitu, Cendikiawan muslim itu tidak hanya membahas hal itu saja. Namun, dia juga turut membandingkan orang Jawa lebih licik dibandingkan Yahudi di Israel. Video ceramah Cak Nun itu pun viral di media sosial. Dilansir dari -jaringan dalam tayangan video berjudul 'Sak Licik-licike Wong Israel Yahudi, Tetep Iseh Licik Wong Jowo', mulanya Cak Nun membahas soal hubungan Israel dengan masyarakat Jawa. Baca JugaTampilan Gaza di Google Maps Terlihat Buram, Terungkap Ini Alasannya Ia menyebut, sampai kapan pun Israel tak akan pernah berani mengusik masyarakat Jawa. Pasalnya, kata Cak Nun, selain usia yang lebih tua tanah Jawa juga memiliki masyarakat yang pandai hidup dalam penderitaan. Sehingga, jika ada negara termasuk Israel yang hendak mengusik dan menjajah mereka rasanya percuma. "Jadi orang Jawa itu ahli penderitaan, dan orang yang muncul kependekarannya dalam keadaan kritis. Itulah orang Jawa. Orang Jawa itu makhluk ciptaan Allah yang paling spesial," ujar Cak Nun. Maka dari itu, menurut Cak Nun, bangsa Yahudi di Israel takut dengan orang Jawa. Hal itu menurutnya terlihat dari sejumlah tempat di negara zionis tersebut yang memakai nama Jawa. "Makanya Israel takut banget sama orang Jawa, semua tempatnya dikasih nama Jawa. Ibu Kotanya Jaffa Tel Aviv. Semua kantor-kantor di Israel, pakai kata Jaffa semua, karena mereka tahu, saat mereka dikalahkan kekuatan-kekuatan baru, maka perlindungannya ke sini," tuturnya. Baca JugaSoal Ibu dan Bayi Meninggal Usai Persalinan, Begini Penjelasan RS di Sumut Selain itu, Cak Nun juga mengungkapkan bahwa bangsa Yahudi di Israel masih kalah licik dibandingkan masyarakat Jawa.
Konsep Negara dan Relevansi terhadap NKRI Perspektif Emha Ainun NadjibKajian berikut ini relatif baru dilakukan karena mengetengahkan konsep negara dan pemerintah berdasarkan pemikiran Cak Nun. Selain sebagai penelitian awal, apa yang ditulis oleh Muh. Ainun Najib Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Budy Sugandi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, dan Ismail Suardi Wekke Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sorong penting dikemukakan karena belum banyak dilakukan tidak menurut temuan mereka pemikiran Cak Nun tersebut dinilai mampu memberikan wacana alternatif tentang pandangan negara, pemerintah, dan kekuasaan di peneliti menyodorkan dua hasil. Pertama, Cak Nun berpendapat pentingnya pembedaan antara lembaga negara dan lembaga pemerintahan, termasuk distingsi kepala negara dan kepala pemerintah supaya terwujud kejelasan sekaligus kestabilan pemimpin serta kepemimpinan hendaknya menguasai medan di lapangan secara utuh dengan kualitas keilmuan yang dimiliki. Itulah sebabnya, komprehensi harus menjadi prasyarat seorang pemimpin agar tidak sekadar sebatas perpanjangan partai, golongan, maupun itu diambilnya dari sejumlah penelusuran tekstual maupun verbal Cak Nun. Sejauh pengamatan peneliti, Cak Nun bukan hanya memiliki modal sosial sebagai basis pengaruh, melainkan juga konsep-konsep yang salah satunya membicarakan negara dan kekuasaan. Otoritasnya, dengan kata lain, adalah tokoh masyarakat sekaligus cendekiawan yang punya pengaruh besar di masyarakat di satu pihak dan seorang penulis produktif di pihak lain. Tulisan dan tuturan itu dipakainya sebagai medium komunikasi kepada masyarakat pengetahuan yang Cak Nun sampaikan sarat akan kritikan. Kritik tersebut adalah bagian dari kebebasan berpendapat. Penyampaian kritik, baginya, merupakan perwujudan cinta Cak Nun terhadap negara. “…[i]ngin memberikan sumbangsih sebuah pemikiran politik mengenai sebuah konsep negara yang bagus menurutnya untuk dijalankan oleh Indonesia kedepannya” hlm. 280.Tanpa kritik kekuasaan cenderung dijalankan secara korup. Apalagi selama ini Cak Nun memandang akar kegaduhan berikut permasalahan negara mendasar belakangan tak terlepas dari “segi mengonsep negara”. Disadari atau tidak, bila masalah paling elementer saja belum selesai, problem sertaan yang mengiringi tidak akan permasalahan yang dihadapi itu meliputi ketidakjelasan kedudukan negara dan pemerintah. Distribusi kekuasaan pun berjalan sengkarut. Memang, sejauh dicatat peneliti, negara Indonesia mengadopsi sistem pemerintahan presidensial tak ada pemisahan fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan. Belum lagi perbedaan itu disandingkan dengan posisi rakyat, betapa semakin lengkap dan kentara kegamangan berikutnya berhilir pada konsentrasi kepatuhan seseorang yang malah mengacu kepada atasan atau pemerintah, bukan Undang-Undang Negara yang sifatnya substansial. Benih-benih feodalisme, dengan demikian, masih menghunjam kuat di tubuh aparatus kekuasaan, sekalipun ruh demokrasi terus direproduksi di tiap mimbar. Masalah ini semakin kompleks ketika diperhadapkan dengan penyebutan pegawai negeri sipil karena sebetulnya mereka tak ubahnya pegawai sipil berikut turunan paling bawah seharusnya mengabdi kepada rakyat. Namun, praktik selama ini justru sebaliknya. Rakyat malah harus menghamba kepada birokrat, baik level kelurahan, kecamatan, kebupatian, kegubernuran, kementerian, maupun kepresidenan. Cak Nun berargumen bahwa mereka seharusnya patuh kepada konstitusi dan rakyat semestinya diposisikan tinggi. Betapapun tanpa rakyat mereka bukanlah yang dinilai sebagai bentuk pemerintahan paling baik pun tak luput menuai paradoks. Ia ideal di tatataran ide tapi belum tentu di ranah faktual. Apalagi pertimbangan jumlah rakyat yang di Indonesia terkesan kurang memadai bila hanya dijawab demokrasi sebagai solusi permasalahan. Demokrasi akan efektif dijalankan dalam konteks rakyat yang tidak bejibun sebagaimana di luar itu semua apa yang hendak dibicarakan Cak Nun adalah pentingnya, “beda antara keluarga dengan rumah tangga, antara kepala keluarga dengan kepala kepala rumah tangga, termasuk antara almari kas negara dengan laci kas rumah tangga, juga antara bendahara dengan kasir,” catat peneliti hlm. 282. Pembagian ranah kekuasaan ini sesungguhnya menggarisbawahi bagaimana negara dan pemerintah memiliki cakupan yang berlainan. Keduanya seharusnya memiliki tugas dan wewenang masing-masing. Tidak malah dijalankan sekaligus oleh presiden, baik sebagai kepala negara maupun Cak Nun tersebut tidak jauh dari masalah manajerial. Ia praktis mengidap disfungsi manakala logika keorganisasian saja tidak dipertimbangkan. Pertanyaan berikutnya, apakah pendiri bangsa tidak memprediksi masalah sistemis atas implikasi dari penyamaan negara dan pemerintah? Bukankah mereka berlatar belakang kaum terdidik Eropa? Pertanyaan ini mau tidak mau memerlukan kajian lebih lanjut karena sudah memasuki wilayah sejarah berdirinya sayangnya hanya mengulas sekilas pada subbagian Sejarah Sistem Pemerintahan Indonesia. Kurangnya porsi pembahasan seputar genealogi sistem kenegaraan Indonesia membuat kajian mereka masih terkesan sepintas lalu. Kendati demikian, tetap perlu ditengok untuk menunjukkan sejauh mana konteks historis turut membentuk sistem kenegaraan hari Republik ini berdiri sistem yang dianut Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensial. Adanya Konferensi Meja Bundar KMB mengubah peta sistem dan politik negeri, sehingga atas “pengakuan” kerajaan Belanda atas kedaulatan Indonesia tanpa syarat berikutnya terlahir Republik Indonesia Serikat RIS. Berlaku sejak 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus RIS membuat sistem pemerintahan Indonesia menjadi parlementer. Walau praktik di lapangan tak sepenuhnya dijalankan dan karenanya waktu itu disebut sebagai “parlementer semu” hlm. 282. Tahun 1950 kemudian lahir Undang-Undang Dasar Sementara yang berlaku sejak 17 Agustus 1950 hingga 5 Juli 1959. Berakhirnya UUDS ditandai oleh keluarnya Dekrit Presiden Soekarno. Bung Besar mengintroduksi demokrasi Soekarno baik tapi sebagian besar kalangan menilai bila “demokrasi terpimpin” diterapkan maka akan terjebak pada absolutisme—suatu pemusatan kekuasaan yang melampaui batas dan akan mengingkari cita-cita demokrasi. Wakil Presiden Hatta sampai mengundurkan diri. Soekarno jamak dikritik, khususnya oleh Bung Hatta dari luar Soekarno kelihatannya luhur sebab demokrasi terpimpin masih diperlukan karena sangat khas Indonesia. Sementara itu, menurutnya rakyat Indonesia masih berada di tengah situasi revolusi “pasca-fisik” sehingga gagasan Soekarno dianggap paling di balik propaganda Sang Putra Fajar terbentang permasalahan ekonomi dan politik yang amat serius harga bahan pokok membumbung, nilai rupiah anjlok, aparatus militer kurang solid. Daftar masalah masih bisa diperpanjang sampai masalah pembubaran partai, pembredelan media, dan lain sistem pemerintahan selalu diiringi oleh dinamika kekuasaan. Peneliti membatasi pada kerangka tonggak-tonggak yang terjadi selama kurun waktu lebih dari setengah abad berdirinya Republik Indonesia. Terlepas dinamika internal maupun eksternal, apa yang perlu dicatat di sini perihal konsep pemikiran Cak Nun tentang kenegaraan adalah kembalinya esensi baldatun thoyyibatun warobbun ghafur yang di Jawa senada dengan pengertian tata tentrem kerja raharja hlm. 285.Selain diperlukan distingsi negara dan pemerintah, Cak Nun menggarisbawahi bahwa negara harus menciptakan ketenteraman bagi masyarakatnya. “Urusan negara sebaiknya tidak hanya mengandalkan para politisi dan para aktivis pergerakan, sebab itu hanya masalah hukum, konstitusi dan kekuasaan. Dalam mengurus negara, harus mau melihat sejarah yang memerlukan seorang begawan, kaum brahmana, butuh panembahan dan butuh rohaniawan, dulu disebutnya sebagai DPA Dewan Pertimbangan Agung” hlm. 28.Pilar yang menjaga bangsa dan negara, menurut Cak Nun, harus konfiguratif dengan kedalaman, ketinggian, dan kekuataan seluruh elemen. Ia mewedar enam pokok. Pertama, rakyat sebagai bangunan pokok sebuah negara. Kedua, TNI sebagai pertahanan. Ketiga, intelektual yang meliputi pelajar, seniman, akademisi, maupun para ahli di bidang spesifik lainnya. Keempat, adat dan budaya. Kelima, kekuatan yang dijelaskan para peneliti dalam kajian ini cukup memadai. Paling tidak sudah mendeskripsikan lokus pemikiran Cak Nun seputar negara dan pemerintah, walaupun masih terkesan kurang rinci sebab melupakan satu hal. Salah satunya perkara pihak di luar negara dan pemerintah yang memiliki otoritas kekuasaan nonformal oligarki sebetulnya sering diwacanakan Cak Nun, baik di esai maupun di mimbar Maiyahan, meski beliau lebih memakai istilah “pemodal” sebagai faktor penentu jalannya kekuasaan dewasa ini. Andaikata penelti turut mengelaborasi bagiaman konsep Cak Nun terhadap persoalan oligarki, saya kira kajian yang dilakukan akan membicarakan negara, pemerintah, dan aparatus kekuasaan tidak mungkin tidak menyebut faktor ekonomi-politik di belakangnya? Oligarki ini menurut Robison dan Hadiz 2004 sudah menubuh ke dalam struktur politik di Indonesia. Membicarakan negara dan pemerintah, dengan demikian, semestinya jangan melupakan jeratan oligarkis di partai politik maupun parlemen.
wahidiyah menurut cak nun